Candi Borobudur
merupakan candi Budha, terletak di desa Borobudur kabupaten Magelang, Jawa
Tengah, dibangun oleh Raja Samaratungga, salah satu raja kerajaan Mataram
Kuno, keturunan Wangsa Syailendra. Nama Borobudur merupakan gabungan dari
kata Bara dan Budur. Bara dari bahasa Sansekerta berarti kompleks candi atau biara. Sedangkan Budur berasal dari kata
Beduhur yang berarti di atas, dengan demikian Borobudur berarti Biara di atas
bukit. Sementara menurut sumber lain berarti sebuah gunung yang
berteras-teras (budhara), sementara sumber lainnya mengatakan Borobudur berarti
biara yang terletak di tempat tinggi.
Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri dari
10 tingkat, berukuran 123 x 123 meter. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi
dan 34,5 meter setelah direnovasi karena tingkat paling bawah digunakan sebagai
penahan. Candi Budha ini memiliki 1460 relief dan 504 stupa Budha di
kompleksnya. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar dan tiga tingkat
di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang berupa stupa
Budha yang menghadap ke arah barat.
Setiap tingkatan melambangkan tahapan
kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin
mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan
tersebut.
o Kamadhatu, bagian dasar Borobudur, melambangkan manusia
yang masih terikat nafsu.
o Rupadhatu, empat tingkat di atasnya, melambangkan manusia
yang telah dapat membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk.
Pada tingkat tersebut, patung Budha diletakkan terbuka.
o Arupadhatu, tiga tingkat di atasnya dimana Budha
diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang. Melambangkan manusia yang
telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk.
o Arupa, bagian paling atas yang melambangkan nirwana,
tempat Budha bersemayam.
Setiap tingkatan memiliki relief-relief yang akan terbaca
secara runtut berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu masuk candi).
Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang suatu kisah yang sangat melegenda,
bermacam-macam isi ceritanya, antara lain ada relief-relief tentang wiracarita
Ramayana, ada pula relief-relief cerita jātaka. Selain itu, terdapat pula
relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief tentang
aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian saat itu
dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran yang
waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang).
Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur
mencerminkan ajaran sang Budha. Seorang budhis asal India bernama Atisha, pada
abad ke 10, pernah berkunjung ke candi yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat
di Kamboja dan 4 abad sebelum Katedral Agung di Eropa ini. Berkat mengunjungi
Borobudur dan berbekal naskah ajaran Budha dari Serlingpa (salah satu raja
Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu mengembangkan ajaran Budha. Ia menjadi kepala
biara Vikramasila dan mengajari orang Tibet tentang cara mempraktekkan Dharma.
Enam naskah dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti ajaran disebut “The
Lamp for the Path to Enlightenment” atau yang lebih dikenal dengan nama
Bodhipathapradipa.
Salah satu pertanyaan yang kini belum terjawab tentang
Borobudur adalah bagaimana kondisi sekitar candi ketika dibangun dan mengapa
candi itu ditemukan dalam keadaan terkubur. Beberapa mengatakan Borobudur
awalnya berdiri dikelilingii rawa kemudian terpendam karena letusan Merapi. Hal
tersebut berdasarkan prasasti Kalkutta bertuliskan ‘Amawa’ berarti lautan susu.
Kata itu yang kemudian diartikan sebagai lahar Merapi,
kemungkinan Borobudur tertimbun lahar dingin Merapi. Desa-desa sekitar
Borobudur, seperti Karanganyar dan Wanurejo terdapat aktivitas warga membuat
kerajinan. Selain itu, puncak watu Kendil merupakan tempat ideal untuk
memandang panorama Borobudur dari atas. Gempa 27 Mei 2006 lalu tidak berdampak
sama sekali pada Borobudur sehingga bangunan candi tersebut masih dapat
dikunjungi.
SEJARAH BOROBUDUR
Sekitar tiga ratus tahun lampau, tempat candi ini berada
masih berupa hutan belukar yang oleh penduduk sekitarnya disebut Redi
Borobudur. Untuk pertama kalinya, nama Borobudur diketahui dari naskah
Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi, disebutkan tentang
biara di Budur. Kemudian pada Naskah Babad Tanah Jawi (1709-1710) ada berita tentang
Mas Dana, seorang pemberontak terhadap Raja Paku Buwono I, yang tertangkap di
Redi Borobudur dan dijatuhi hukuman mati. Kemudian pada tahun 1758, tercetus
berita tentang seorang pangeran dari Yogyakarta, yakni Pangeran Monconagoro,
yang berminat melihat arca seorang ksatria yang terkurung dalam sangkar.
Pada tahun 1814, Thomas Stamford Raffles mendapat berita
dari bawahannya tentang adanya bukit yang dipenuhi dengan batu-batu berukir.
Berdasarkan berita itu Raffles mengutus Cornelius, seorang pengagum seni dan
sejarah, untuk membersihkan bukit itu. Setelah dibersihkan selama dua bulan
dengan bantuan 200 orang penduduk, bangunan candi semakin jelas dan pemugaran
dilanjutkan pada 1825. Pada 1834, Residen Kedu membersihkan candi lagi, dan
tahun 1842 stupa candi ditinjau untuk penelitian lebih lanjut.
PEMBANGUNAN CANDI BOROBUDUR
Candi Borobudur dibuat pada masa Wangsa Syailendra yang
Buddhis di bawah kepemimpinan Raja Samarotthungga. Arsitektur yang menciptakan
candi, berdasarkan tuturan masyarakat bernama Gunadharma. Pembangunan candi itu
selesai pada tahun 847 M. Menurut prasasti Kulrak (784M) pembuatan candi ini
dibantu oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya yang
sangat dihormati, dan seorang pangeran dari Kashmir bernama Visvawarman sebagai
penasihat yang ahli dalam ajaran Buddis Tantra Vajrayana. Pembangunan candi ini
dimulai pada masa Maha Raja Dananjaya yang bergelar Sri Sanggramadananjaya,
dilanjutkan oleh putranya, Samarotthungga, dan oleh cucu perempuannya, Dyah Ayu
Pramodhawardhani.
Sebelum dipugar, Candi Borobudur hanya berupa reruntuhan
seperti halnya artefak-artefak candi yang baru ditemukan. Pemugaran selanjutnya
oleh Cornelius pada masa Raffles maupun Residen Hatmann, setelah itu periode
selanjutnya dilakukan pada 1907-1911 oleh Theodorus van Erp yang membangun
kembali susunan bentuk candi dari reruntuhan karena dimakan zaman sampai kepada
bentuk sekarang. Van Erp sebetulnya seorang ahli teknik bangunan Genie Militer
dengan pangkat letnan satu, tetapi kemudian tertarik untuk meneliti dan
mempelajari seluk-beluk Candi Borobudur, mulai falsafahnya sampai kepada
ajaran-ajaran yang dikandungnya. Untuk itu dia mencoba melakukan studi banding
selama beberapa tahun di India. Ia juga pergi ke Sri Langka untuk melihat
susunan bangunan puncak stupa Sanchi di Kandy, sampai akhirnya van Erp
menemukan bentuk Candi Borobudur. Sedangkan mengenai landasan falsafah dan
agamanya ditemukan oleh Stutterheim dan NJ. Krom, yakni tentang ajaran Buddha
Dharma dengan aliran Mahayana-Yogacara dan ada kecenderungan pula bercampur
dengan aliran Tantrayana-Vajrayana.
Penelitian terhadap susunan bangunan candi dan falsafah
yang dibawanya tentunya membutuhkan waktu yang tidak sedikit, apalagi kalau
dihubung-hubungkan dengan bangunan-bangunan candi lainnya yang masih satu
rumpun. Seperti halnya antara Candi Borobudur dengan Candi Pawon dan Candi
Mendut yang secara geografis berada pada satu jalur.
MATERI CANDI BOROBUDUR
Luas bangunan Candi Borobudur 15.129 m2 yang tersusun
dari 55.000 m3 batu, dari 2 juta potongan batu-batuan. Ukuran batu rata-rata 25
cm X 10 cm X 15 cm. Panjang potongan batu secara keseluruhan 500 km dengan
berat keseluruhan batu 1,3 juta ton. Dinding-dinding Candi Borobudur
dikelilingi oleh gambar-gambar atau relief yang merupakan satu rangkaian cerita
yang terususun dalam 1.460 panel. Panjang panel masing-masing 2 meter. Jika
rangkaian relief itu dibentangkan maka kurang lebih panjang relief seluruhnya 3
km. Jumlah tingkat ada sepuluh, tingkat 1-6 berbentuk bujur sangkar, sedangkan
tingkat 7-10 berbentuk bundar. Arca yang terdapat di seluruh bangunan candi
berjumlah 504 buah. Tinggi candi dari permukaan tanah sampai ujung stupa induk
dulunya 42 meter, namun sekarang tinggal 34,5 meter setelah tersambar petir.
Menurut hasil penyelidikan seorang antropolog-etnolog
Austria, Robert von Heine Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal
tata budaya pada zaman Neolithic dan Megalithic yang berasal dari Vietnam Selatan
dan Kamboja. Pada zaman Megalithic itu nenek moyang bangsa Indonesia membuat
makam leluhurnya sekaligus tempat pemujaan berupa bangunan piramida bersusun,
semakin ke atas semakin kecil. Salah satunya yang ditemukan di Lebak Sibedug
Leuwiliang Bogor Jawa Barat. Bangunan serupa juga terdapat di Candi Sukuh di
dekat Solo, juga Candi Borobudur. Kalau kita lihat dari kejauhan, Borobudur
akan tampak seperti susunan bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah
stupa. Berbeda dengan piramida raksasa di Mesir dan Piramida Teotihuacan di
Meksiko Candi Borobudur merupakan versi lain bangunan piramida. Piramida
Borobudur berupa kepunden berundak yang tidak akan ditemukan di daerah dan
negara manapun, termasuk di India. Hal tersebut merupakan salah satu
kelebihan Candi Borobudur yang merupakan kekhasan arsitektur Budhis di
Indonesia.
BENTUK BANGUNAN
- Denah Candi Borobudur ukuran panjang 121,66 meter dan lebar 121,38 meter.
– Tinggi 35,40 meter.
– Susunan bangunan berupa 9 teras
berundak dan sebuah stupa induk di puncaknya. Terdiri dari 6 teras berdenah
persegi dan3 teras berdenah lingkaran.
– Pembagian vertikal secara filosofis
meliputi tingkat Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu.
– Pembagian vertikal secara teknis
meliputi bagian bawah, tengah, dan atas.
– Terdapat tangga naik di keempat
penjuru utama dengan pintu masuk utama sebelah timur dengan ber-pradaksina.
– Batu-batu Candi Borobudur berasal
dari sungai di sekitar Borobudur dengan volume seluruhnya sekitar 55.000 meter
persegi (kira-kira 2.000.000 potong batu)
RIWAYAT TEMUAN
Candi Borobudur muncul kembali tahun 1814 ketika Sir Thomas Stanford
Raffles, Gubernur Jenderal Inggris yang menjadi wali negara Indonesia
mengadakan kegiatan di Semarang, waktu itu Raffles mendapatkan informasi bahwa
di daerah Kedu telah ditemukan susunan batu bergambar, kemudian ia mengutus
Cornelius seorang Belanda untuk membersihkannya.
Pekerjaan ini dilanjutkan oleh
Residen Kedu yang bernama Hartman pada tahun 1835. Disamping kegiatan
pembersihan, ia juga mengadakan penelitian khususnya terhadap stupa puncak
Candi Borobudur, namun sayang mengenai laporan penelitian ini tidak pernah
terbit. Pendokumentasian berupa gambar bangunan dan relief candi dilakukan oleh
Wilsen selama 4 tahun sejak tahun 1849, sedangkan dokumen foto dibuat pada
tahun 1873 oleh Van Kinsbergen.
Menurut legenda Candi Borobudur didirikan oleh
arsitek Gunadharma, namun secara historis belum diketahui secara pasti.
Pendapat Casparis berdasarkan interpretasi prasasti berangka tahun 824 M dan
prasasti Sri Kahulunan 842 M, pendiri Candi Borobudur adalah Smaratungga yang
memerintah tahun 782-812 M pada masa dinasti Syailendra. Candi Borobudur
dibangun untuk memuliakan agama Budha Mahayana.
Pendapat Dumarcay Candi Borobudur didirikan dalam 5 tahap pembangunan
yaitu:
- Tahap I + 780 Masehi
– Tahap II dan III + 792 Masehi
– Tahap IV + 824 Masehi
– Tahap V + 833 Masehi
NAMA CANDI BOROBUDUR
Mengenai penamaannya juga terdapat beberapa pendapat diantaranya:
Raffles: Budur yang kuno (Boro= kuno,
budur= nama tempat) Sang Budha yang agung (Boro= agung, budur= Buddha) Budha
yang banyak (Boro= banyak, budur= Buddha)
Moens: Kota para penjunjung tinggi Sang
Budha
Casparis: Berasal dari kata sang
kamulan ibhumisambharabudara, berdasarkan kutipan dari prasasti Sri Kahulunan
842 M yang artinya bangunan suci yang melambangkan kumpulan kebaikan dari
kesepuluh tingkatan Bodhisattva.
Poerbatjaraka: Biara di Budur (Budur=
nama tempat/desa)
Soekmono dan Stutertheim: Bara dan
budur berarti biara di atas bukit Menurut Soekmono fungsi Candi Borobudur
sebagai tempat ziarah untuk memuliakan agama Budha aliran Mahayana dan pemujaan
nenek moyang.
PEMUGARAN
Upaya pemugaran Candi Borobudur dilakukan sebanyak dua kali yaitu pertama
dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dibawah pimpinan Van Erp dan yang
kedua dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang diketuai oleh Soekmono (alm).
Pemugaran I tahun 1907 – 1911, Pemugaran I sepenuhnya dibiayai oleh
pemerintah Hindia Belanda. Sasaran pemugaran lebih banyak ditujukan pada bagian
puncak candi yaitu tiga teras bundar dan stupa pusatnya. Namun oleh karena
beberapa batunya tidak diketemukan kembali, bagian puncak (catra) stupa, tidak
bisa dipasang kembali.
Pemugaran bagian bawahnya lebih bersifat tambal sulam
seperti perbaikan/pemerataan lorong, perbaikan dinding dan langkan tanpa
pembongkaran sehingga masih terlihat miring. Usaha-usaha konservasi telah
dilakukan sejak pemugaran pertama oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan terus
menerus mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap Candi Borobudur,
sementara proses kerusakan dan pelapukan batu-batu Candi Borobudur yang
disebabkan oleh berbagai faktor terus berlangsung. Dan hasil penelitian yang
diadakan oleh suatu panitia yang dibentuk dalam tahun 1924 diketahui bahwa
sebab-sebab kerusakan itu ada 3 macam, yaitu korosi, kerja mekanis dan kekuatan
tekanan dan tegangan di dalam batu-batu itu sendiri (O.V. 1930 : 120-132).
Pemugaran II tahun 1973 – 1983, Sesudah usaha pemugaran Van Erp berhasil
diselesaikan pada tahun 1911, pemeliharaan terhadap Candi Borobudur terus
dilakukan. Berdasarkan perbandingan antara kondisi saat itu dengan foto-foto
yang dibuat Van Erp 10 tahun sebelumnya, diketahui ternyata proses kerusakan
pada Candi Borobudur terus terjadi dan semakin parah, terutama pada dinding
relief batu-batunya rusak akibat pengaruh iklim. Selain itu bangunan candinya
juga terancam oleh kerusakan. Dengan masuknya Indonesia menjadi anggota PBB,
maka secara otomatis Indonesia menjadi anggota UNESCO.
Melalui lembaga UNECO
tersebut, Indonesia mulai mengimbau kepada dunia internasional untuk ikut
menyelamatkan bangunan yang sangat bersejarah tersebut. Usaha tersebut
berhasil, dengan dana dari Pelita dan dana UNESCO, pada tahun 1975 mulailah
dilakukan pemugaran secara total.
Oleh karena pada tingkat Arupadhatu
keadaannya masih baik, maka hanya tingkat bawahnya saja yang dibongkar. Dalam
pembongkaran tersebut ada tiga macam pekerjaan, yaitu tekno arkeologi yang
terdiri atas pembongkaran seluruh bagian Rupadhatu, yaitu empat tingkat segi
empat di atas kaki candi, pekerjaan teknik sipil yaitu pemasangan pondasi beton
bertulang untuk mendukung Candi Borobudur untuk setiap tingkatnya dengan diberi
saluran air dan lapisan kedap air di dalam konstruksinya, dan pekerjaan kemiko
arkeologis yaitu pembersihan dan pengawetan batu-batunya, dan akhirnya
penyusunan kembali batu-batu yang sudah bersih dari jasad renik (lumut,
cendawan, dan mikroorganisme lainnya) ke bentuk semula.
RELIEF
Disamping maknanya sebagai lambang alam semesta dengan pembagian vertikal
secara filosofis meliputi Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu, Candi Borobudur
mengandung maksud yang amat mulia, maksud ini diamanatkan melalui relief-relief
ceritanya. Candi Borobudur mempunyai 1.460 panil relief cerita yang tersusun
dalam 11 deretan mengitari bangunan candi dan relief dekoratif berupa relief
hias sejumlah 1.212 panil. Relief cerita pada tingkat Kamadhatu (kaki candi)
mewakili dunia manusia menggambarkan perilaku manusia yang masih terikat oleh
nafsu duniawi.
Hal ini terlihat pada dinding kaki candi yang asli terpahatkan 160 panil relief Karmawibhangga yang menggambarkan hukum sebab akibat. Tingkat Rupadhatu (badan candi) mewakili dunia antara, menggambarkan perilaku manusia yang sudah mulai meninggalkan keinginan duniawi, akan tetapi masih terikat oleh suatu pengertian dunia nyata. Pada tingkatan ini dipahatkan 1.300 panil yang terdiri dari relief Lalitavistara, Jataka, Avadana, dan Gandawyuha. Berikut uraian singkat dari relief tersebut:
Hal ini terlihat pada dinding kaki candi yang asli terpahatkan 160 panil relief Karmawibhangga yang menggambarkan hukum sebab akibat. Tingkat Rupadhatu (badan candi) mewakili dunia antara, menggambarkan perilaku manusia yang sudah mulai meninggalkan keinginan duniawi, akan tetapi masih terikat oleh suatu pengertian dunia nyata. Pada tingkatan ini dipahatkan 1.300 panil yang terdiri dari relief Lalitavistara, Jataka, Avadana, dan Gandawyuha. Berikut uraian singkat dari relief tersebut:
1. Tingkat I
- dinding atas relief Lalitavistara : 120 panilRelief ini menggambarkan
riwayat hidup Sang Buddha Gautama dimulai pada saat para dewa di surga Tushita
mengabulkan ermohonan Bodhisattva untuk turun ke dunia menjelma menjadi manusia
bernama Buddha Gautama. Ratu Maya sebelum hamil bermimpi menerima kehadiran
gajah putih dirahimnya. Di Taman Lumbini Ratu Maya melahirkan puteranya dan
diberi nama pangeran Sidharta. Pada waktu lahir Sidharta sudah dapat berjalan,
dan pada tujuh langkah pertamanya tumbuh bunga teratai.
Setelah melahirkan Ratu Maya meninggal, dan Sidharta diasuh oleh bibinya Gautami. Setelah dewasa Sidharta kawin dengan Yasodhara yang disebut dengan dewi Gopa. Dalam suatu perjalanan Sidharta mengalami empat perjumpaan yaitu bertemu dengan pengemis tua yang buta, orang sakit, orang mati membuat Sidharta menjadi gelisah, karena orang dapat menjadi tua, menderita, sakit dan mati. Akhirnya Sidharta bertemu dengan seorang pendeta, wajah pendeta itu damai, umur tua, sakit, dan mati tidak menjadi ancaman bagi seorang pendeta.
Oleh karena menurut ramalan Sidharta akan menjadi pendeta, maka ayahnya mendirikan istana yang megah untuk Sidaharta. Setelah mengalami empat perjumpaan tersebut Sidharta tidak tenteram tinggal di istana, akhirnya diam-diam meninggalkan istana. Sidharta memutuskan enjadi pendeta dengan memotong rambutnya. Pakaian istana ditinggalkan dan memakai pakaian budak yang sudah meninggal, dan bersatu dengan orang-orang miskin.
Sebelum melakukan samadi Sidharta mensucikan diri di sungai Nairanjana. Sidharta senang ketika seorang tukang rumput mempersembahkan tempat duduk dari rumput usang. Di bawah pohon Bodhi pada waktu bulan purnama di bulan Waisak, Sidharta menerima pencerahan sejati, sejak itu Sidharta menjadi Buddha di kota Benares.
Setelah melahirkan Ratu Maya meninggal, dan Sidharta diasuh oleh bibinya Gautami. Setelah dewasa Sidharta kawin dengan Yasodhara yang disebut dengan dewi Gopa. Dalam suatu perjalanan Sidharta mengalami empat perjumpaan yaitu bertemu dengan pengemis tua yang buta, orang sakit, orang mati membuat Sidharta menjadi gelisah, karena orang dapat menjadi tua, menderita, sakit dan mati. Akhirnya Sidharta bertemu dengan seorang pendeta, wajah pendeta itu damai, umur tua, sakit, dan mati tidak menjadi ancaman bagi seorang pendeta.
Oleh karena menurut ramalan Sidharta akan menjadi pendeta, maka ayahnya mendirikan istana yang megah untuk Sidaharta. Setelah mengalami empat perjumpaan tersebut Sidharta tidak tenteram tinggal di istana, akhirnya diam-diam meninggalkan istana. Sidharta memutuskan enjadi pendeta dengan memotong rambutnya. Pakaian istana ditinggalkan dan memakai pakaian budak yang sudah meninggal, dan bersatu dengan orang-orang miskin.
Sebelum melakukan samadi Sidharta mensucikan diri di sungai Nairanjana. Sidharta senang ketika seorang tukang rumput mempersembahkan tempat duduk dari rumput usang. Di bawah pohon Bodhi pada waktu bulan purnama di bulan Waisak, Sidharta menerima pencerahan sejati, sejak itu Sidharta menjadi Buddha di kota Benares.
- dinding bawah relief Manohara dan Avadana : 120 panilCerita Manohara
menggambarkan cerita udanakumaravada yaitu kisah perkawinan pangeran Sudana
dengan bidadari Manohara. Karena berjasa menyelamatkan seekor naga, seorang
pemburu bernama Halaka mendapat hadiah laso dari orang tua naga. Pada suatu
hari Halaka melihat bidadari mandi di kolam, dengan lasonya berhasil menjerat
salah seorang bidadari tercantik bernama Manohara.
Oleh karena Halaka tidak sepadan dengan Manohara, maka Manohara dipersembahkan kepada pangeran Sudana, meskipun ayah Sudana tidak setuju. Banyaknya rintangan tidak dapat menghalangi pernikahan pangeran Sudana dengan Manohara. Cerita Awadana mengisahkan penjelmaan kembali orang-orang suci, diantaranya kisah kesetiaan raja Sipi terhadap makhluk yang lemah.
Seekor burung kecil minta tolong raja Sipi agar tidak dimangsa burung elang. Sebaliknya burung elang minta raja Sipi menukar burung kecil dengan daging raja Sipi. Setelah ditimbang ternyata berat burung kecil dengan raja Sipi sama beratnya, maka raja Sipi bersedia mengorbankan diri dimangsa burung elang. Seorang pemimpin harus berani mengorbankan dirinya untuk rakyat kecil dan semua makhluk hidup.
Oleh karena Halaka tidak sepadan dengan Manohara, maka Manohara dipersembahkan kepada pangeran Sudana, meskipun ayah Sudana tidak setuju. Banyaknya rintangan tidak dapat menghalangi pernikahan pangeran Sudana dengan Manohara. Cerita Awadana mengisahkan penjelmaan kembali orang-orang suci, diantaranya kisah kesetiaan raja Sipi terhadap makhluk yang lemah.
Seekor burung kecil minta tolong raja Sipi agar tidak dimangsa burung elang. Sebaliknya burung elang minta raja Sipi menukar burung kecil dengan daging raja Sipi. Setelah ditimbang ternyata berat burung kecil dengan raja Sipi sama beratnya, maka raja Sipi bersedia mengorbankan diri dimangsa burung elang. Seorang pemimpin harus berani mengorbankan dirinya untuk rakyat kecil dan semua makhluk hidup.
- langkan bawah (kisah binatang) relief Jatakamala: 372 panil langkan atas
(kisah binatang) relief Jataka:128 panil Relief ini mempunyai arti untaian
cerita jataka yang mengisahkan reinkarnasi sang Buddha sebelum dilahirkan
sebagai seorang manusia bernama pangeran Sidharta Gautama. Kisah ini cenderung
pada penjelmaan sang Buddha sebagai binatang yang berbudi luhur dengan
pengorbanannya.
Cerita jataka diantaranya kisah kera dan banteng. Kera yang nakal suka mengganggu banteng, namun banteng diam saja. Dewi hutan menasehati banteng untuk melawan kera, namun banteng menolak mengusir kera karena takut kera akan pergi dari hutan dan mengganggu kedamaian binatang-binatang lain. Akhirnya dewi hutan bersujud kepada banteng karena sikap banteng didalam menjaga keserasian dan kedamaian di hutan. Kisah jataka lainnya adalah pengorbanan seekor gajah yang mempersembahkan dirinya untuk dimakan oleh para pengungsi yang kelaparan.
Cerita jataka diantaranya kisah kera dan banteng. Kera yang nakal suka mengganggu banteng, namun banteng diam saja. Dewi hutan menasehati banteng untuk melawan kera, namun banteng menolak mengusir kera karena takut kera akan pergi dari hutan dan mengganggu kedamaian binatang-binatang lain. Akhirnya dewi hutan bersujud kepada banteng karena sikap banteng didalam menjaga keserasian dan kedamaian di hutan. Kisah jataka lainnya adalah pengorbanan seekor gajah yang mempersembahkan dirinya untuk dimakan oleh para pengungsi yang kelaparan.
2. Tingkat II
- dinding relief Gandawyuha : 128 panil
– langkan relief Jataka/Avadana : 100 panil Relief ini mungkin melanjutkan kehidupan Sang Buddha di masa lalu. Beberapa adegan dikenal kembali antara lain terdapat pada sudut barat laut, yaitu Bodhisattva menjelma sebagai burung merak dan tertangkap, akhirnya memberikan ajarannya.
– langkan relief Jataka/Avadana : 100 panil Relief ini mungkin melanjutkan kehidupan Sang Buddha di masa lalu. Beberapa adegan dikenal kembali antara lain terdapat pada sudut barat laut, yaitu Bodhisattva menjelma sebagai burung merak dan tertangkap, akhirnya memberikan ajarannya.
3. Tingkat III
dinding relief Gandawyuha : 88 panil
Relief ini menggambarkan riwayat Bodhisattva Maitreya sebagai calon Budha yang akan datang, merupakan kelanjutan dari cerita di tingkat II.
Relief ini menggambarkan riwayat Bodhisattva Maitreya sebagai calon Budha yang akan datang, merupakan kelanjutan dari cerita di tingkat II.
ARCA
- Tokoh yang diarcakan: Dhyani Buddha, Manusi Buddha, dan Boddhisatva.
– Jumlah arca : 504 buah
Rincian letak arca :
- Pada tingkat Rupadhatu terdapat 432 arca, ukuran semakin ke atas semakin
kecil dan diletakkan pada relung, dengan rincian: Teras I : 104 arca Teras II :
104 arca Teras III : 88 arca Teras IV : 72 arca Teras V : 64 arca
- Pada tingkat Arupadhatu terdapat 72 arca dengan ukuran sama dan
diletakkan di dalam stupa, dengan rincian:Teras VI : 32 arca Teras VII : 24
arca Teras VIII : 16 arca
- Pada tingkat Rupadhatu ini terdapat 432 arca Dyani Buddha diletakkan di
dalam relung di segala penjuru arah mata angin yaitu: Arca Dhyani Buddha
Aksobya letak di sisi Timur dengan sikap tangan Bhumisparsamudra, Arca Dhyani
Buddha Ratnasambhawa letak sisi Selatan dengan sikap tangan Waramudra, Arca
Dhyani Buddha Amoghasidha letak di sisi Utara dengan sikap tangan Abhayamudra,
Arca Dhyani Buddha Wairocana di pagar langkan tingkat V dengan sikap
Witarkamudra
– Di dalam stupa teras I, II, dan III terdapat arca Dhyani Buddha Vajrasattva dengan sikap tangan Dharmacakramudra
– Arca singa : 32 buahMenurut agama Buddha singa adalah kendaraan sang Buddha pada waktu naik ke surga, simbol kekuatan pengusir pengaruh jahat untuk menjaga kesucian Candi Borobudur.
– Di dalam stupa teras I, II, dan III terdapat arca Dhyani Buddha Vajrasattva dengan sikap tangan Dharmacakramudra
– Arca singa : 32 buahMenurut agama Buddha singa adalah kendaraan sang Buddha pada waktu naik ke surga, simbol kekuatan pengusir pengaruh jahat untuk menjaga kesucian Candi Borobudur.
STUPA
Jumlah stupa 73 buah dengan rincian 1 buah stupa induk, 32 stupa pada teras melingkar I, 24 stupa pada teras melingkar II, dan 16 stupa pada teras melingkar III.
Bentuk stupa :
– Stupa induk berongga, tanpa lubang terawang
– Stupa pada teras melingkar berlubang terawang:Lubang belah ketupat pada stupa teras melingkar I dan II Lubang segi empat pada stupa teras melingkar III
– Arti simbolis lubang terawang belah ketupat: Berkaitan dengan filosofi menuju ke tingkat kesempurnaan – Arti simbolis lubang terawang segi empat: Berkaitan dengan filosofi lebih sederhana atau ?sempurna? daripada bentuk belah ketupat yang masih tergolong raya.
MISTERI SEPUTAR CANDI BOROBUDUR
Sampai saat ini ada beberapa hal yang masih menjadi bahan misteri seputar
berdirinya Candi Borobudur, misalnya dalam hal susunan batu, cara mengangkut
batu dari daerah asal sampai ke tempat tujuan, apakah batu-batu itu sudah dalam
ukuran yang dikehendaki atau masih berupa bentuk asli batu gunung, berapa lama
proses pemotongan batu-batu itu sampai pada ukuran yang dikehendaki, bagaimana
cara menaikan batu-batu itu dari dasar halaman candi sampai ke puncak, alat
derek apakah yang dipergunakan?.
Gambar relief, apakah batu-batu itu sesudah bergambar lalu dipasang, atau batu dalam keadaan polos baru dipahat untuk digambar. Dan mulai dari bagian mana gambar itu dipahat, dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas? masih banyak lagi misteri yang belum terungkap secara ilmiah, terutama tentang ruang yang ditemukan pada stupa induk candi dan patung Budha, di pusat atau zenith candi dalam stupa terbesar, diduga dulu ada sebuah patung penggambaran Adibuddha yang tidak sempurna yang hingga kini masih menjadi misteri.
Gambar relief, apakah batu-batu itu sesudah bergambar lalu dipasang, atau batu dalam keadaan polos baru dipahat untuk digambar. Dan mulai dari bagian mana gambar itu dipahat, dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas? masih banyak lagi misteri yang belum terungkap secara ilmiah, terutama tentang ruang yang ditemukan pada stupa induk candi dan patung Budha, di pusat atau zenith candi dalam stupa terbesar, diduga dulu ada sebuah patung penggambaran Adibuddha yang tidak sempurna yang hingga kini masih menjadi misteri.
KRONOLOGIS PENEMUAN DAN PEMUGARAN CANDI BOROBUDUR
o
1814 – Sir Thomas
Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa, mendengar adanya
penemuan benda purbakala di desa Borobudur. Raffles memerintahkan H.C.
Cornelius untuk menyelidiki lokasi penemuan, berupa bukit yang dipenuhi semak
belukar.
o
1873 – monografi
pertama tentang candi diterbitkan.
o
1900 –
pemerintahan Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia pemugaran dan perawatan
candi Borobudur.
o
1907 – Theodoor
van Erp memimpin pemugaran hingga tahun 1911.
o
1926 – Borobudur
dipugar kembali, tapi terhenti pada tahun 1940 akibat krisis malaise dan
Perang Dunia II.
o
1956 – pemerintah
Indonesia meminta bantuan UNESCO. Prof. Dr. C. Coremans datang ke Indonesia
dari Belgia untuk meneliti sebab-sebab kerusakan Borobudur.
o
1963 – pemerintah
Indonesia mengeluarkan surat keputusan untuk memugar Borobudur, tapi berantakan
setelah terjadi peristiwa G-30-S.
o
1968 – pada
konferensi-15 di Perancis, UNESCO setuju untuk memberi bantuan untuk menyelamatkan
Borobudur.
o
1971 – pemerintah
Indonesia membentuk badan pemugaran Borobudur yang diketuai Prof.Ir.Roosseno.
o
1972 –
International Consultative Committee dibentuk dengan melibatkan berbagai negara
dan Roosseno sebagai ketuanya. Komite yang disponsori UNESCO menyediakan 5 juta
dolar Amerika Serikat dari biaya pemugaran 7.750 juta dolar Amerika Serikat.
Sisanya ditanggung Indonesia.
o
10 Agustus 1973 –
Presiden Soeharto meresmikan dimulainya pemugaran Borobudur; pemugaran selesai
pada tahun 1984
o
21 Januari 1985 –
terjadi serangan bom yang merusakkan beberapa stupa pada candi Borobudur yang
kemudian segera diperbaiki kembali.
o
1991 – Borobudur
ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO.
MONITORING
Candi Borobudur setelah selesai dipugar tidak berarti selesai sudah
perawatan terhadap candi tersebut. Tidak ada jaminan kalau Candi Borobudur
terbebas dari proses kerusakan dan pelapukan. Oleh karena itu kantor Balai
Studi dan Konservasi Borobudur selalu melakukan monitoring dan evaluasi secara
berkesinambungan. Misalnya monitoring melalui kegiatan observasi pertumbuhan
mikroorganisme, observasi stabilitas batu candi, evaluasi struktur candi dan
buki, observasi geohydrologi, observasi sistem drainase, analisis mengenai
dampak lingkungan, dan lain-lain.
PERLINDUNGAN
Usaha perlindungan dilakukan dengan membuat mintakat (zoning) pada situs
Candi Borobudur yaitu:
– Zone I Area suci, untuk perlindungan monumen dan lingkungan arkeologis (radius 200 m)
– Zone II Zona taman wisata arkeologi, untuk menyediakan fasilitas taman dan perlindungan lingkungan sejarah (radius 500 m)
– Zone III Zona penggunaan tanah dengan aturan khusus, untuk mengontrol pengembangan daerah di sekitar taman wisata (radius 2 km)
– Zone IV Zona Perlindungan daerah bersejarah, untuk perawatan dan pencegahan kerusakan daerah sejarah (radius 5 km)
– Zone V Zona taman arkeologi nasional, untuk survei arkeologi pada daerah yang luas dan pencegahan kerusakan monumen yang masih terpendam (radius 10 km)
Zona I dan zona II dimiliki oleh pemerintah. Zona I dikelola oleh Balai Studi dan Konservasi Borobudur, zona II dikelola oleh PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko.
Pada zona II juga tersedia fasilitas turis : parkir mobil, loket tiket, pusat informasi, museum, kios-kios, dan lain-lain. Zona III, IV, dan V dimiliki oleh masyarakat, tetapi pemanfaatannya dikontrol oleh pemerintah daerah.
– Zone I Area suci, untuk perlindungan monumen dan lingkungan arkeologis (radius 200 m)
– Zone II Zona taman wisata arkeologi, untuk menyediakan fasilitas taman dan perlindungan lingkungan sejarah (radius 500 m)
– Zone III Zona penggunaan tanah dengan aturan khusus, untuk mengontrol pengembangan daerah di sekitar taman wisata (radius 2 km)
– Zone IV Zona Perlindungan daerah bersejarah, untuk perawatan dan pencegahan kerusakan daerah sejarah (radius 5 km)
– Zone V Zona taman arkeologi nasional, untuk survei arkeologi pada daerah yang luas dan pencegahan kerusakan monumen yang masih terpendam (radius 10 km)
Zona I dan zona II dimiliki oleh pemerintah. Zona I dikelola oleh Balai Studi dan Konservasi Borobudur, zona II dikelola oleh PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko.
Pada zona II juga tersedia fasilitas turis : parkir mobil, loket tiket, pusat informasi, museum, kios-kios, dan lain-lain. Zona III, IV, dan V dimiliki oleh masyarakat, tetapi pemanfaatannya dikontrol oleh pemerintah daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar